Kantor Media Gaza menyatakan optimisme terhadap pembentukan administrasi sementara di Jalur Gaza, yang diharapkan dapat segera terwujud sesuai dengan kesepakatan dengan Mesir. Langkah ini diyakini akan menjadi awal bagi pemerintahan Palestina yang bersatu, mencakup Tepi Barat dan Gaza, dengan dasar konsensus nasional. Saat ini, lembaga pemerintahan di Gaza hanya berfungsi dalam kapasitas pelayanan tanpa keterlibatan politik, semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah kondisi sulit akibat perang yang masih berlangsung.

Pemerintah Gaza menekankan bahwa kelangsungan institusi yang ada penting untuk mencegah kekosongan kekuasaan yang bisa memperburuk situasi. Mereka juga menyoroti urgensi mendukung rencana rekonstruksi Gaza, yang diinisiasi oleh negara-negara Arab dan Islam, demi membangun kembali wilayah yang hancur akibat serangan Israel. Pada KTT Darurat Arab untuk Palestina yang digelar 4 Maret lalu, negara-negara Arab menolak pemindahan paksa warga Palestina serta mendukung rencana Mesir untuk membentuk “Komite Administrasi Gaza”. Komite ini akan bersifat independen dan terdiri dari teknokrat non-faksi yang bekerja di bawah naungan pemerintahan Palestina selama enam bulan masa transisi.

Hamas menyatakan tidak akan terlibat dalam pengaturan administratif Gaza kecuali jika disepakati secara nasional. Mereka menegaskan bahwa masa depan Gaza harus ditentukan melalui konsensus. Sementara itu, agresi Israel yang dimulai sejak Oktober 2023 telah menyebabkan lebih dari 50.200 warga Palestina tewas dan 114.000 lainnya terluka, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza, sementara Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).