Perjalanan Al Julani: Dari Komandan Al Qaeda Hingga Pengguling Rezim Assad di Suriah
Sebagai pemimpin cabang kelompok Al Qaeda dalam perang saudara di Suriah, Abu Mohammed Al Julani, yang juga dikenal sebagai Muhammad al-Jawlani, adalah sosok misterius yang jarang terlihat di hadapan publik. Meskipun kelompoknya menjadi kekuatan utama dalam upaya menggulingkan Presiden Suriah Bashar Al Assad, Julani tetap berada di balik layar selama bertahun-tahun.
Namun, kini Julani telah menjadi salah satu tokoh paling dikenal dalam pemberontakan Suriah. Sejak memutuskan hubungan dengan Al Qaeda pada 2016, ia berhasil mengubah citra kelompoknya dan memainkan peran kunci dalam pemberontakan yang berlangsung selama 13 tahun melawan rezim Assad.
“Masa depan kini milik kita,” ujar Julani, yang kini menggunakan nama aslinya Ahmed al-Sharaa, dalam pernyataan yang disiarkan oleh televisi pemerintah Suriah. Ia menekankan peran penting yang dimainkan saat kekuasaan keluarga Assad yang telah berlangsung selama 50 tahun akhirnya runtuh.
Dalam upayanya untuk memastikan transisi pemerintahan yang tertib, Julani menegaskan bahwa institusi pemerintahan akan tetap diawasi oleh perdana menteri yang ditunjuk oleh Assad hingga proses serah terima selesai.
Dengan mengenakan seragam militer, ia mengunjungi Masjid Umayyad yang bersejarah di Kota Tua Damaskus, ditemani oleh pendukungnya yang mengabadikan momen tersebut. Julani adalah pemimpin kelompok pemberontak Hayat Tahrir Al Sham (HTS), yang sebelumnya dikenal sebagai Front Nusra dan dianggap sebagai kelompok teroris oleh sebagian besar dunia.
Amerika Serikat menetapkan Julani sebagai teroris pada 2013, menyatakan bahwa Al Qaeda di Irak telah menugaskannya untuk menggulingkan pemerintahan Assad dan menerapkan hukum syariah Islam di Suriah. AS juga menuduh Front Nusra telah melakukan serangan bunuh diri yang menewaskan warga sipil dan menganut visi sektarian yang keras.
Julani pertama kali tampil di hadapan media pada 2013 dalam wawancara dengan Al Jazeera, di mana wajahnya ditutupi oleh syal gelap dan ia membelakangi kamera. Dalam wawancara tersebut, ia menyerukan penerapan hukum syariah di Suriah.
Delapan tahun kemudian, ia tampil dalam program FRONTLINE di lembaga penyiaran publik AS, mengenakan kaus dan jaket, serta menghadap kamera. Julani mengatakan bahwa status teroris yang disematkan kepadanya tidak adil dan ia menentang pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Ia menjelaskan bahwa Front Nusra telah berkembang dari hanya enam orang yang bersamanya di Irak menjadi 5.000 dalam satu tahun. Namun, ia menegaskan bahwa kelompoknya tidak pernah menebar ancaman kepada Barat.
“Saya tegaskan kembali – keterlibatan kami dengan Al Qaeda telah berakhir, dan bahkan ketika masih bersama Al Qaeda, kami menentang operasi di luar Suriah,” katanya.
Meskipun demikian, Rewards for Justice, program penghargaan keamanan nasional utama Departemen Luar Negeri AS, masih menawarkan hadiah hingga 10 juta dolar AS untuk informasi tentang Julani.