Udara Kotor, Jiwa Terguncang: Polusi Bisa Jadi Pemicu Depresi
Penelitian kolaboratif antara Harbin Medical University dan Cranfield University menemukan bahwa paparan polusi udara dalam jangka panjang berpotensi meningkatkan risiko depresi. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Science and Ecotechnology ini meneliti kondisi lebih dari 45 ribu orang dewasa di Tiongkok selama kurun waktu tujuh tahun, guna memahami dampak enam jenis polutan terhadap kesehatan mental. Hasilnya menunjukkan bahwa sulfur dioksida (SO₂) memiliki korelasi paling kuat dengan gejala depresi. Selain itu, karbon monoksida (CO) dan partikel halus (PM2.5) juga teridentifikasi sebagai faktor pemicu yang signifikan. Paparan gabungan dari berbagai polutan tersebut memperbesar potensi timbulnya masalah kejiwaan. Para ilmuwan menjelaskan bahwa partikel-partikel beracun ini bisa memengaruhi sistem saraf pusat melalui aliran darah, saraf trigeminal, atau bahkan lewat jalur penciuman, yang kemudian memicu stres oksidatif serta peradangan otak. Efek ini dapat menurunkan kestabilan emosi seseorang dalam jangka panjang. Walaupun temuan ini memperkuat dugaan adanya hubungan antara kualitas udara dan kesehatan mental, para peneliti menekankan perlunya kajian lanjutan untuk memahami lebih dalam mekanisme biologis di balik pengaruh tersebut. Informasi dari Kementerian Kesehatan RI juga menyebutkan bahwa depresi adalah gangguan suasana hati yang bisa menyebabkan perasaan hampa berkepanjangan, gangguan tidur, penurunan konsentrasi, hingga munculnya pikiran negatif ekstrem. WHO menegaskan bahwa depresi bukan sekadar perubahan perasaan sesaat, melainkan kondisi klinis serius yang bisa berlangsung minimal dua minggu dan memengaruhi kualitas hidup seseorang secara menyeluruh.