Korea Utara Terapkan Hukuman Kerja Paksa bagi Pasangan Bercerai: Sebuah Kebijakan yang Memicu Protes
Pada 22 Desember 2024, Korea Utara dikabarkan mengimplementasikan kebijakan yang memberlakukan hukuman kerja paksa bagi pasangan yang bercerai. Langkah ini semakin menambah serangkaian kebijakan kontroversial yang diterapkan di negara tersebut. Menurut laporan dari sumber internasional yang tak dapat disebutkan identitasnya, pihak berwenang di Pyongyang percaya bahwa perceraian dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi negara, sehingga mereka memandang perlu memberikan sanksi berat terhadap pasangan yang memutuskan untuk bercerai. Kebijakan ini mencerminkan sikap keras rezim Kim Jong-un dalam mempertahankan kontrol atas masyarakat dan menjaga kestabilan struktur sosial.
Pasangan yang memilih untuk bercerai akan dikenakan hukuman kerja paksa di berbagai fasilitas negara, yang biasanya terletak di daerah terpencil dan dengan kondisi kerja yang sangat berat. Kerja paksa ini dimaksudkan untuk memberikan hukuman sekaligus “pendidikan” kepada individu yang dianggap melanggar norma-norma sosial yang diinginkan oleh pemerintah. Laporan yang ada menyebutkan bahwa individu yang dihukum kerja paksa dipaksa untuk bekerja dalam kondisi ekstrem, seperti di tambang atau proyek konstruksi besar, dengan pengawasan yang sangat ketat. Tak hanya pasangan yang bercerai yang dikenakan hukuman ini, tetapi juga anggota keluarga mereka yang dianggap ikut bertanggung jawab dalam menjaga keharmonisan keluarga.
Di Korea Utara, perceraian tetap dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran negara, yang menilai keluarga sebagai unit sosial yang harus mendukung tujuan negara. Pemerintah menekankan pentingnya kesatuan dan loyalitas dalam ikatan keluarga sebagai bagian dari kewajiban membangun negara sosialis. Perceraian dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut dan dapat merusak struktur sosial yang telah dibangun. Oleh karena itu, tindakan yang dianggap mengancam nilai-nilai keluarga akan dihukum dengan keras, termasuk melalui hukuman kerja paksa.
Kebijakan hukuman kerja paksa bagi pasangan yang bercerai telah menuai kritik tajam dari komunitas internasional, dengan banyak pihak menganggap kebijakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Organisasi hak asasi manusia mengecam perlakuan tersebut, yang dianggap tidak manusiawi dan mengabaikan kebebasan pribadi individu. Berbagai laporan juga mengungkapkan bahwa hukuman ini tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan, tetapi juga dapat menambah beban emosional dan sosial bagi keluarga yang terlibat. Meskipun mendapat banyak kecaman, pemerintah Korea Utara tetap mempertahankan kebijakan ini sebagai bagian dari strategi kontrol sosial mereka.
Penerapan hukuman kerja paksa terhadap pasangan yang bercerai diprediksi akan semakin meningkatkan ketegangan dalam masyarakat Korea Utara, di mana kebebasan pribadi sangat dibatasi. Banyak orang merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak bahagia, tetapi takut untuk bercerai karena ancaman hukuman berat. Dampak psikologis dari kebijakan ini juga menjadi perhatian, karena semakin banyak orang yang terpaksa bertahan dalam pernikahan yang tidak sehat demi menghindari hukuman. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan ini justru akan memperburuk kualitas hidup masyarakat dan menambah ketidakbahagiaan dalam kehidupan rumah tangga.
Kebijakan ini juga menggambarkan bagaimana pemerintah Korea Utara mengatur dan mengawasi hampir seluruh aspek kehidupan warganya, baik itu pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Pemerintah sering menggunakan hukuman berat sebagai cara untuk memperkuat kekuasaan dan menjaga ketertiban sosial sesuai dengan pandangan mereka. Seiring berjalannya waktu, kebijakan seperti ini hanya menambah daftar panjang tindakan represif yang diterapkan oleh rezim Kim Jong-un terhadap rakyatnya.